welcome

welcome in world erry

Selasa, 15 Juni 2010

kazen (sayap)

Kazen (sayap)
Aku butuh sayap untuk terbang
Maka, aku mulai mengumpulkan helai demi helai bulu untuk ku rajut sebagai sayap
Waktu telah meninggalkanku, dan sayapku telah selesai kubuat
Kukepakkan sayapku, dan mulai terbang menuju angkasa
Menara di atas tanah mulai berteriak, hei, jangan pergi ke sana , nanti kau akan terjatuh!
Aku tak perduli, aku senang karena akhirnya bisa terbang
Dengan bersemangat, aku terus, terus terbang, sampai tak ingat lagi telah berapa lama aku terbang
Aku berhenti sejenak, untuk mencoba mengingat sudah seberapa jauh aku terbang
Tapi, begitu ku lihat ke atas, disana begitu tinggi, kosong dan dingin
Mendadak aku ingin kembali, tapi aku tak bisa lagi melihat pemandangan di bawah
Aku tak bisa lagi membedakan atas dan bawah
Sekarang, aku sendirian.
Aku ingin meneruskan terbang, namun, jika aku terus terbang, apakah suatu hari aku akan menemukan daratan untuk berpijak?
Apakah aku akan membentur tanah tempatku bermula, ataukah aku akan terus menembus angkasa yang dingin dan gelap sendirian?
Kenapa tak ada yang lain yang menemaniku di sini?
Apakah mereka belum selesai merajut sayap mereka sendiri? Atau ujung-ujung tajam pasak telah menahan kaki mereka tetep di tanah?
Aku tidak mau terus tinggal di sini, jadi aku kembali mengepakkan sayapku, kemanapun itu, biarlah, asalkan aku tak disini, merenung meratapi nasip.
Namun, ketika ku kepakkan sayapku, kulihat helai-helai bulu berterbangan dari sayapku
Sadar bahwa sayapku semakin rapuh, kucoba untuk mengepakkan perlahan, tetapi justru lebih banyak helai bulu yang terlepas
Kulihat kembali kebawah, tetap saja, aku tak melihat apapun
Dan, aku semakin tak yakin apakah benar bahwa yang kulihat itu “bawah”
Semuanya kelihatan sama disini
Helai terakhir dari sayapku telah meninggalkanku, dan aku terjatuh
Hei! Kini aku bisa membedakan atas dan bawah
Tapi, dari jarak yang setinggi ini, apakah bagian-bagian tubuhku akan terpencar begitu aku mencapai tanah?
Apakah akan ada yang datang dan menangkapku di sana?
Atau semuanya akan menjauhiku, aku yang pernah terbang sampai kesini, aku yang kini bukan bagian dari mereka lagi?
Aku jatuh, jatuh, terus menembus langit dan kurasakan kedinginan itu telah meninggalkanku
Bahkan, seluruh tubuhku kini diselimuti nyala api yang membara
Setidaknya, kini aku tak lagi kedinginan dan aku juga tak lagi sendirian
Percikan-percikan api, bunga-bunga api, berloncat-loncatan, seolah dengan ceria menemaniku menjemput kehancuran
Aku bisa melihat daratan sekarang
Aah, ada menara disana. Masih menara yang sama, masih menara yang mengantarkanku pergi kelangit, menara yang mengatakan padaku, hei, jangan pernah berani menapak langit, atau kau akan terjatuh
Meskipun terjatuh, aku tersenyum menatap menara itu
Kau, menara yang berdiri tegak sempurna, stabil diatas tanah, apa yang pernah kau lihat? Apa yang pernah kau rasakan? Pernahkah kau merasa kedinginan diatas sana, agar kau dapat menghargai kehangatan yang kau dapatkan disini? Pernahkah kau merasa terbakar oleh atmosfer agar kau dapat menghargai kesejukan yang pernah kau dapatkan? Pernahkah kau merasa kebimbangan, ketakutan, kesendirian, di atas sana? Pernahkah kau hancur, jatuh berkeping-keping? Pernahkah, kau berusaha mengumpulkan helai demi helai bulu, merajutnya, hanya untuk terbang kesana, hanya untuk menghargai semua yang pernah kau dapatkan? Pernahkah, pernahkah, kau mencoba untuk berubah?
Setidaknya aku tak akan hancur berkeping-keping, kata menara itu. Aku hanya akan retak jika ada yang menghantamku di sini. Aku tak akan jatuh bila tak berada di ketinggian. Aku tak akan hancur, apabila bukan oleh waktu yang terus menerus menghantamku. Aku sempurna, aku tak butuh yang lain, yang hanya akan menjadi penyebab kehancuranku. Aku tak butuh berubah, seperti kau yang membutuhkan sayap untuk terbang, aku tak butuh apa-apa. Yang kubutuhkan hanyalah waktu, lebih banyak waktu, dan aku akan tetep kokoh berdiri di daratan ini
Lagi-lagi, sambil tersenyum, aku membalasnya. Pantas saja kau menjadi menara. Benda yang tak butuh berubah, atau apapun, kau hanya benda yang tak layak untuk hidup, bahkan kau tidak layak ‘ada’.
Siapa peduli? Kata menara itu. Aku sudah membuktikan bahwa kestabilan adalah yang terpenting
Aaah, desahku. Terserah kaulah. Maka aku memejamkan mataku, namun segera ku buka lagi. Aku tidak ingin menghadapi sesuatu, apapun itu, baik yang kutakuti maupun kesukai, dengan mata tertutup
Aku ingin melihat wujud dari ketakutanku itu. Seandainya sang laut sudi menangkapku dan sudi mengembalikanku ke daratan, akan ku coba untuk merajut sayap kembali, dan aku akan kembali terbang, kali ini, tanpa kebimbangan atau takut akan kesendirian.
Aku tak peduli lagi, seandainya pun aku akan sendirian diatas sana, setidaknya tak akan ada yang bisa menyakitiku, kecuali diriku sendiri. Aku juga tak akan bisa menyakiti orang lain selain diriku sendiri
Mungkin,lebih baik seperti itu.
Seandainya aku tersesat lagi, aku tak perduli, aku hanya akan mengepakkan sayapku ke arah manapun yang kulihat, ke arah manapun yang kupercayai sebagai “atas”
Aku terus, terus terjatuh, dan kali ini aku memejamkan mataku, terserah siapa saja yang akan menangkapku. Aku tak perduli lagi atau mungkin, tak akan ada yang menagkapku, jadi aku hanya akan terjatuh ke kegelapan. Mungkin ini yang terbaik.